Senin, 04 November 2013


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kemajuan yang siginifikan ketika kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang investasi dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) setelah pemerintah menerbitkan peraturan yang membebaskan pajak perseroan untuk masa dua tahun (Undang-undang No 11 Tahun 1970).

Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967, Undang-undang No 11 tahun 1970 dan Undang-undang No 6 Tahun 1968 Undang-undang No 12 Tahun 1970 memberi kemudahan bagi pelaksanaan penanaman modal (investasi). Sejak berlakunya Undang-undang PMA tahun 1967, aliran modal asing setiap tahun menunjukkan perkembangan dan peningkatan, baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif, karena letak wilayahnya yang strategis dan berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura membuat Batam menjadi tempat yang efisien untuk penanaman investasi. Hal ini ditunjang dengan peraturan tentang pengelolaan Pulau Batam, yang pada awalnya didasarkan atas Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang “Pengembangan Pembangunan Pulau Batam” yang meliputi wilayah Batu Ampar saja, diarahkan untuk membangun Pulau Batam sebagai Kawasan Berikat (Bonded Warehouse). Peraturan perundangan terakhir yaitu Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun1992 memperluas wilayahnya meliputi Pulau batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang serta beberapa pulau kecil yang berada di sekitar pulau Rempang-Galang.

Berdasarkan latarbelakang itulah pembangunan kawasan industri Pulau Batam yang dimulai sejak 1970-an identik dengan lembaga Otorita Batam yang mengelola kawasan industri. Kehadiran Otorita Batam untuk memperkuat kedudukan Pemerintah Pusat yang sejak awal dirancang menyaingi Singapura. Untuk mempermudah mendapatkannya, maka dasar hukum pendirian Otorita Batam tidak perlu disetujui lembaga legislatif (DPR RI),  tetapi langsung berdasarkan Keputusan Presiden (KEPPRES). Sehingga berdasarkan Keputusan Presiden itulah silih berganti diterbitkannya pelbagai kebijakan mulai dari Keputusan Presiden No.65 Tahun 1970 sehingga No.28 Tahun 1992 yang berjumlah 11 (diterbitkan era Orde Baru), kemudian 3 Keputusan Presiden diterbitkan pada era Reformasi Konstitusi.

Selain pelbagai Keputusan Presiden tentang Otorita Batam dan Kawasan Industri, pada era Reformasi secara bersamaan terbit Undang-Undang No.53 Tahun 1999 (diubah  dengan UU No.13 Tahun 2000) tentang “Pendirian Kota Batam yang otonom”. Dengan kebijakan ini Pulau Batam yang semula hanya sebagai Kota Administratif (tanpa legislatif daerah), statusnya berubah menjadi daerah otonom kota yang mempunyai kewenangan dan anggota legislatif daerah. Kebijakan ini menyebabkan ‘dualisme’ kekuasaan antara Otorita Batam (Pemerintah Pusat) dan Pemerintah Kota Batam tentang lembaga mana yang berhak mengelola Pulau Batam.

Dalam memahami hubungan pembangunan kawasan industri antara Pulau Batam dan Pulau Pinang terdapat dua perbedaan. Pertama, kawasan industri dan institusi yang mengelola  di Pulau Batam tidak didukung berdasarkan undang-undang dan kepastian hukum, kecuali Keputusan Presiden pada era Orde Baru dan Reformasi (sebelum tahun 2007). Sementara di Pulau Pinang kawasan industri dan pengelolanya berdasarkan undang-undang. Kedua, dalam pengelolaan kawasan industri di Pulau Pinang, tidak terjadi dualisme kekuasaan, sementara di Pulau Batam terjadi dualisme kekuasaan antara ‘Otorita Batam’ (Pemerintah Pusat) dengan Pemerintah Kota Batam. Hal ini sejalan dengan perkembangan pembangunan Kota Batam, serta pertumbuhan penduduk yang secara perlahan meningkat. Atas pertimbangan ini, Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 34/1983 mengenai “Pembentukan Kota Administratif Batam” di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Riau sebagai perangkat dekonsentrasi. Sejak saat itulah pengelolaan kawasan Batam melibatkan dua lembaga, yaitu Badan Otorita Batam dan Pemerintah Kota Administratif.  Perubahan besar terjadi setelah dikeluarkan dan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Daerah, yang menjadikan Batam sebagai daerah Pemerintahan Kota Otonom yang sama kedudukannya dengan kabupaten dan kota-kota lainnya di Indonesia. Kedua peraturan ini selanjutnya dirubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemeritahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Terkait dengan dualisme tersebut, maka sebagaimana banyak diberitakan oleh media, ada upaya uji materi terhadap UU tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas yang terkait Badan Pengusahaan Batam.

II. PERMASALAHAN

 

Tantangan utama yang harus dihadapi oleh Kota Batam saat ini adalah bagaimana mengharmoniskan pembagian wewenang dua pemerintahan sehingga pengelolaan kotanya dapat berkembang dengan optimal. Perlu dicari terobosan taktis dan strategis agar hubungan keduanya menjadi sinergi dan bukannya kontroversi. Dengan adanya sinergi maka tujuan awal pembangunan kota Batam yang secara terencana memang dimaksudkan untuk memberikan kontribusi dalam kemajuan ekonomi Nasional, pada era otonomi Daerah ini tetap dapat dilaksanakan.
Bahkan, dengan adanya masalah ini maka investor yang telah menanamkan investasinya di Batam juga hengkang dan mencari negara lain yang kondusif dan memiliki kepastian hukum yang jelas.
Ketua Umum Kadin Indonesia MS Hidayat menyatakan enam investor asing siap meninggalkan Batam untuk berpindah ke Malaysia dan Vietnam, menyusul ketidakjelasan peraturan dan status Batam sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Para investor yang berasal dari Singapura dan bergerak di bidang elektronik tersebut menilai peraturan di Batam semakin tidak jelas, serta biaya produksi semakin tinggi. Para investor tersebut juga mempertanyakan masih adanya dualisme perizinan dan kewenangan antara Otorita Batam dan Kotamadya Batam, sehingga membingungkan mereka.
Sementara, Ketua Kadinda Batam Nada F Soraya menyatakan sudah ada 8 perusahaan yang membatalkan realisasi investasi mereka di Batam. Sedangkan 10 perusahaan memindahkan pabrik mereka ke luar Batam dan delapan perusahaan lagi sudah tidak aktif lagi.
Dalam tempo lima tahun terakhir ini terjadi relokasi industri kekawasan lain diluar Batam terutama ke luar negeri. Misalnya ke India seperti yang dilakukan PT Dynacs Digital Studio, Thailand yakni PT Viking Life Saving dan Kyocera Indonesia. Sementara itu perusahaan yang pindah ke Cina, yakni PT, Toyoplas Industries Indonesia dan Techtronic Appliances.
Selain itu, dua perusahaan yakni PT NSG dan PT Chammaam Indonesia Tunisian Textile & Trade, membatalkan realisasi rencana investasi mereka. Kemudian enam lagi dipastikan menunda realisasi investasi. Keenamnya itu adalah PT Elektronik Assembling Indonesia, AKS, Filter Indonesia Tbk, Kiki Aditama Wijaya, Niaga Sakti, dan Sentosa Makmur Indonesia.
Sementara terdapat delapan perusahaan tidak aktif lagi, yakni CV Batam Knitting Factory, PT Chiyoda Elektronic Indonesia, Galaxy Batam, Lucent Technologies Network System Indonesia, Koindo Megatron Sejati, OKI Electric Cable Batam dan Tyco Precision Engineering.
Penurunan aktivitas industri tersebut cukup mengkhawatirkan karena berimbas juga pada kelompok usaha lain di Batam, terutama usaha kecil menengah. Sebagai ilustrasi data Aspekalima Batam (Asosiasi Pedagang Kaki lima Batam) tahun 2005 mencatat sekitar 2000 pedagang kaki lima, padahal pada tahun sebelumnya mencapai 3.500 pedagang kaki lima.
Permasalahan-permasalahan ini timbul karena belum adanya kepastian hukum menyangkut investasi di Batam. Lantas, langkah apa yang diambil pemerintah untuk mengatasi hal ini ?

III. PEMBAHASAN

Kawasan industri (industrial estate) adalah kawasan yang dikhususkan untuk kegiatan industri lengkap disertai infrastruktur pendukung. Setiap perusahaan yang beroperasi tetap mengikuti aturan pajak dan kepabeanan. Ada ratusan kawasan industri di Indonesia, total luasnya mencapai 300.000 hektar Misalnya Bekasi, Karawang, Tanggerang, Semarang, Sidoarjo, Medan, Makassar dan Bontang
Kawasan berikat (bonded zone) adalah sebuah zona terbatas yang digunakan untuk tempat produksi barang dan material desain konstruksi, kegiatan perencanaan, pemilahan inspeksi pendahuluan dan akhir, pengemasan barang impor dan barang dari daerah pabean Indonesia lainnya. Barang-barang yang diimpor untuk kawasan berikat mendapat perlakuan khusus, misalnya penundaan kewajiban impor, bebas pajak, bebas PPN, bebas PPnBM, dan bebas PPH. Ada 426 perusahaan yang beroperasi di 15 kawasan berikat di Indonesia.
Kawasan ekonomi khusus (special economic zone-SEZ) adalah kawasan tertentu dalam suatu negara yang punya paying hukum ekonomi lebih liberal. Tujuan utamanya, meningkatkan investasi asing. Praktek SEZ muncul dengan beragam nama, mulai dari kawasan perdagangan bebas, kawasan pemrosesan barang ekspor, kawasan bebas, kawasan industri, dan pelabuhan bebas. Menurut data Bank Dunia, sampai tahun 2007 terdapat lebih dari 3000 perusahaan di lokasi SEZ yang tersebar di 120 negara. Cina termasuk yang paling dulu membangun SEZ dengan Shenzen sebagai contoh paling berhasil dari sebuah kampung kecil menjadi kota berpenduduk 10 juta dalam 20 tahun.
Melihat kondisi Batam yang dinilai pemerintah sebagai keadaan darurat yakni banyaknya investor yang hengkang atau mengalihkan tempat usahanya dari Batam, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1/2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 36/2000 tentang penetapan Perpu No 1 /2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang dikeluarkan 4 Juni 2007. Batam sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) ditetapkan menjadi FTZ penuh. Sedangkan KEK Bintan dan Karimun sifat FTZ-nya terbatas, hanya di beberapa daerah (enclave).
Sebelum Perpu ini terbit, yakni pada 22 Juni 2006, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura sepakat bekerja sama meningkatkan investasi di Batam, Bintan dan Karimun. Kawasan ini pun disebut sebagai KEK.
Tapi kesepakatan ini hanya bisa terealisasi jika ada payung hukum berupa undang-undang. Masalahnya, menerbitkan undang-undang butuh waktu yang lama karena harus mendapat persetujuan DPR. Demi mempelancar urusan legal KEK maka pemerintah membuat perpu. Salah satu isi Perpu ini menyatakan, penetapan KEK tak perlu lagi lewat undang-undang tapi cukup dengan PP. Daerah mana saja serta aturan seperti apa yang diterapkan juga ditetapkan dengan PP, meski terpisah.
Namun, saran untuk pemerintah adalah PP yang dikeluarkan harus memuat secara rinci segala aturan mengenai KEK. Aturan yang termaktub, antara lain, soal kewenangan pemerintah daerah dengan pengelola KEK, kepemilikan lahan, tenaga kerja, dan bea cukai.
Adapun PP No 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang mengatur FTZ di Batam agak berbeda dengan daerah lainnya yakni Bintan dan Karimun. Pembentukan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Batam tidak perlu buru-buru dibentuk seperti daerah lainnya. Khusus Batam, Badan Pengusahaan ditetapkan paling lambat 31 Desember 2008. Sedangkan Badan Pengelola Kawasan Bintan dan Karimun harus sudah terbentuk setahun setelah beleid berlaku.
Pemerintah punya alasan, Batam sekarang punya Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. Jadi selama Badan Pengusahaan belum terbentuk, tugasnya dilakukan Otorita Batam. Lantaran alasan tersebut pemerintah membuat tiga peraturan pemerintah yakni untuk Batam, Bintan dan terakhir Karimun. Tujuannya, pemerintah ingin menjaga iklim investasi yang sudah ada di pulau yang bertetangga dengan negeri Singapura.
Sehingga terdapat masa transisi untuk Otorita Batam sebelum perannya diambil Badan Pengusahaan. Seperti, kontrak-kontrak yang ditandatangani badan otorita dengan investor harus tetap jalan.
Sementara, Badan Pengusahaan akan mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengelolaan, pengembangan dan pembangunan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas. Kepala dan anggota lembaga tersebut ditunjuk oleh Dewan Kawasan dengan masa kerja selama lima tahun. Soal lalu lintas barang, Badan Pengusahaan bekerjasama dengan Bea dan Cukai.
Adapun beberapa aturan tentang Kawasan Bebas Batam yang tertuang dalam PP adalah sebagai berikut:
Pasal 1
(1) Dengan Peraturan Pemerintah ini, kawasan Batam ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk jangka waktu 70 (tujuh puluh) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah ini.
(2) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru;
(3) Batas tetap dan titik koordinat dari wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagaimana dalam peta terlampir yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 2
(1) Di dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam dilakukan kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi, seperti sektor perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata dan bidang lainnya.
(2) Bidang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
(3) Pengembangan kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi di dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas pada kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam.
Pasal 4
(1) Hak Pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dan Hak Pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam yang berada di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (2) beralih kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Hak-hak yang ada diatas Hak Pengelolaan atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir.
(3) Untuk perpanjangan/pembaharuan hak setelah hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, akan diberikan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 5
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, segala perjanjian, kesepakatan, atau kerjasama serta izin atau fasilitas yang diberikan oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dan Pemerintah Kota Batam dinyatakan tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir.
Pasal 6
(1) Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam ditetapkan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2008.
(2) Sebelum terbentuknya Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, maka tugas dan wewenangnya dilaksanakan secara bersama antara Pemerintah Kota Batam dengan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Jika ini dapat terlaksana dengan baik, maka terdapat peluang yang menguntungkan bagi Batam dan para investor, diantaranya investor dapat memilih bangunan pabrik yang siap pakai di 14 (empat belas) kawasan industri dengan infrastruktur dan fasilitas lengkap. Tersedia bangunan pabrik seluas 1000 meter persegi di atas lahan 2000 meter persegi dengan harga hanya US$200.000, pekerja terdidik banyak dijumpai di Batam, tanpa perlu rekrutmen dari luar pulau.
Selanjutnya, aplikasi investasi asing diproses secara one stop policy, dan disetujui dalam waktu tak lebih dari 20 hari. Semua perizinan diproses dalam satu atap oleh Otorita Batam (Batam Industrial Development Authorithy). Keunggulan lainnya adalah tanpa bea impor/ekspor untuk mesin, equipment, suku cadang dan raw material. Batam juga terbuka untuk bermacam jenis industri. Namun dengan status Batam dan lokasinya yang strategis maka industri pariwisata akan mengalami booming dengan kunjungan rata-rata 3.300 turis per hari (daerah wisata tersebuk kedua setelah Bali).
Namun, langkah pemerintah yang dilakukan untuk memajukan Batam bukannya tanpa halangan, anggota DPR telah berancang-ancang menolak pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 / 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sesuai dengan mekanisme, setiap perpu harus dibahas di DPR. Jika DPR menolak mengesahkan, maka semua peraturan turunan Perpu itu pun tak legal alias batal. Sederet alasan lain menolak Perpu karena telah menabrak aturan hukum lainnya, yakni Undang-Undang Nomor 32 / 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 / 2007 tentang Penanaman Modal. Perpu itu akan membuat kewenangan pemerintah daerah dikurangi dengan keberadaan pengelola KEK.
Penetapan Perpu ini juga dinilai membuat iri daerah lain. Daerah-daerah menuntut perlakuan serupa. Padahal, jika semua tuntutan dipenuhi, pendapatan negara akan turun drastis. Selain itu, perpu itu belum menjamin tak terjadi penyelundupan seperti yang jamak terjadi selama ini. Sebab ada disparitas harga antara di KEK dengan kawasan perbatasan sangat besar.
Beberapa pendapat lain yang tidak setuju dengan penetapan KEK menyatakan Indonesia tidak cocok dengan KEK. Malah terjadi salah kaprah tentang dasar penentuan KEK.
Memang tren KEK sedang menjamur di beberapa Negara. Di Cina, KEK terbukti sukses. Tapi jika ditelisik lebih jauh, kondisi Cina dengan Indonesia beda. Pada masa awal pemberlakuan kebijakan open door, Cina punya masalah dengan tingginya tarif impor dan birokrasi yang tak efisien. Untuk mengatasi masalah dengan cepat, Cina membuat KEK yang menyediakan insentif pajak khusus dan kebebasan ekspor-impor yang lebih besar.
Di Indonesia, hampir semua jenis tarif penting sudah sangat rendah. Bahkan kebijakan open door sudah jauh lebih dulu diterapkan di Indonesia. Seharusnya, Indonesia fokus pada isu lain, diantaranya mengatasi masalah ekonomi, biaya tinggi dalam industri karena pembebasan PPN dalam jangka panjang tidak menguntungkan Negara.
Meski ada suara sumbang, pemerintah maju terus. Apalagi pelamar KEK di Indonesia cukup banyak. Setidaknya ada sepuluh wilayah lain di luar Batam, Bintan dan Karimun yang sudah mengajukan permohonan ke Tim Persiapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEKI).

IV. KESIMPULAN

Keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 / 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Peraturan Pemerintah (PP) No 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang mengatur FTZ di Batam menjadi langkah positif bagi Batam sebagai tempat yang menarik investasi.
Perpu dan PP ini tentunya membuat kepastian hukum untuk berinvestasi semakin jelas. Sehingga persoalan tentang dualisme kepemimpinan dan kewenangan antara Pemerintah Kota (Pemko) Batam dan Otorita Batam (OB) seperti yang dijelaskan di atas tidak akan timbul.
Namun, langkah pemerintah ini bukannya tanpa halangan. Anggota DPR di Senayan Jakarta berancang-ancang untuk memblokade Perpu yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini.
Sesuai dengan mekanisme, setiap perpu harus dibahas di DPR. Jika DPR menolak mengesahkan, maka semua peraturan turunan Perpu itu pun tak legal alias batal.
Dan jika ini ternyata batal diundang-undangkan oleh DPR, maka keraguan akan kembali muncul dan para investor akan melihat tingkat kapastian hukum di Indonesia sangat rendah karena mudahnya peraturan yang dikeluarkan berubah atau batal dengan sendirinya.
Jika DPR mendukung pun sebenarnya investor masih ragu. Sebab, pengesahan Perpu menjadi UU pun harus menjalani proses yang lama dan panjang. Sehingga jika pemerintah SBY tidak berkuasa lagi. Siapa yang akan menjami peraturan yang diteken SBY ini tidak berubah dengan peraturan dari pemerintah yang baru dipilih ?

V. DAFTAR PUSTAKA

Suhendro, SH., Mhum, Hukum Investasi di Daerah Otonomi, Yogyakarta, Gita Nagari, 2005.
Astari Yanuarti, Pasar (Setengah) Bebas Batam, Jakarta, Gatra, 2007
Gentur Putro Jati – Nuria Bonita, FTZ Batam Lebih Spesial Ketimbang Bintan Karimun, Jakarta, Kontan, 15 Agustus 2007.
______
http://www.kimpraswil.go.id/, Batam Sejak1968 Hingga Era Otonomi Derah, Sebuah Pengantar untuk Melihat Tantangan yang Dihadapi
______
http://www.kapanlagi.com/, Enam Investor Siap Hengkang dari Batam, Minggu, 18 Februari 2007
______
http://www.dpr.go.id/artikel/terkini/, Komisi VI DPR Desak Menteri Perdagangan Susun Policies Design Pengembangan Batam, 27 Februari 2006.
______
http://www.kompas.com

Filed under: Hukum

 

Minggu, 03 November 2013

a Touching Video


KetidakPastian Hukum di Batam menyebabkan Dualisme Pemerintahan


BAB I

PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG MASALAH

Kalau penetapan status otonomi daerah diyakini oleh pemerintah dapat semakin meningkatkan perkembangan suatu daerah dalam hal ini adalah Kota Batam, maka aspek penting yang tidak boleh dikesampingkan adalah pelaksanaan otonomi daerah itu secara nyata. Kami melihat kenyataan yang ada saat ini justru perkembangan Kota Batam tidaklah seperti yang diharapkan, yaitu dapat menjadi kota industri yang besar seperti halnya Singapura sehingga dapat menjadi salah satu lokomotif ekonomi Indonesia yang dapat diandalkan.

Dalam beberapa keadaan justru Kota Batam tertinggal jauh dari daerah–daerah lain di Indonesia yang bukan berstatus otonomi daerah. Pada mulanya Kota Batam dirancang untuk menjadi kota industri sasaran penanaman modal dari investor asing namun justru saat ini semakin kehilangan pamornya dan ditinggalkan investor satu per satu. Kota Batam yang tadinya diharapkan mampu bersaing dengan Singapura sekarang ini malah tertinggal jauh bahkan dari negara – negara Asean lainnya.

Dari beberapa kenyataan yang terjadi ini kami melihat adanya kesalahan penerapan dalam pelaksanaan status otonomi daerah. Saat ini Kota Batam mengenal 2 badan dalam mengelola kotanya, yaitu BP Batam dan Pemko Batam. Pada kenyataannya seringkali 2 badan yang sama – sama berkepentingan mengelola Kota Batam ini agar semakin maju dan berkembang malah menjadi penyebab terhambatnya kemajuan perkembangan Kota Batam. Tidak adanya keselarasan di antara 2 badan tersebut dalam penerapan peraturan dan penanganan masalah di Kota Batam adalah sumbernya.

Dualisme pemerintahan di Kota Batam inilah yang kami akan coba bahas sehingga suatu pertanyaan siapakah yang sebenarnya berwenang mengelola Kota Batam ini dapat terjawab. Dengan mencoba memaparkan fakta–fakta yang ada semoga kebenaran dapat terungkap dan Kota Batam dapat semakin maju dan berkembang seperti harapan semula.

B.     Batasan Masalah

Pada makalah yang kami buat ini dengan judul dualisme pemerintahan menimbulkan ketidakpastian hukum di Kota Batam, serta dampak-dampak yang ditimbulkan, maka batasan masalah yang akan kami bahas pada makalah ini yaitu :

1.         Otonomi daerah di Indonesia

2.         Sejarah Kota Batam

3.         Landasan hukum BP Batam dan Pemko Batam

4.         Permasalahan–permasalahan yang muncul dari ketidakpastian hukum

5.         Dambaan kepastian hukum di Kota Batam

 

C.     Tujuan

Sebagai warga negara yang baik sudah selayaknya kita berbakti bagi bangsa dan negara, oleh karena itu dalam makalah yang kami buat ini, kami berusaha melihat permasalahan permasalahan yang ada khususnya di daerah dimana kami bermukim dan mencoba untuk merumuskan jawaban-jawaban dari permasalah yang ada sesuai dengan informasi yang kami kumpulkan. Mudah –mudahan bermanfaat demi kemajuan bangsa dan negara. MERDEKA !!!

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

A.     LANDASAN TEORI

Makalah ini disusun berdasarkan landasan-landasan, yaitu :

a.        Sistem Pemerintahan

Berdasarkan sifat hubungan antara organ – organ  yang diserahi kekuasaan yang ada di dalam negara  itu, khususnya berdasarkan sifat hubungan badan legislatif dengan badan eksekutif, maka sistem pemerintahan di dalam negara yang mengadakan atau menyelenggarakan sistem pemisahan kekuasaan itu, didapatkan adanya tiga macam sistem pemerintahan, yaitu :

1.             Negara dengan sistem pemerintahan presidensial

2.             Negara dengan sistem pemerintahan parlementer

3.             Negara dengan sistem pemerintahan badan pekerja, atau referendum.

Kalau sistem – sistem tersebut di atas kita hubungkan dengan demokrasi modern, kita akan mendapatkan tipe daripada demokrasi modern itu sebagai berikut.

1.             Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif, dengan sistem pemisahan kekuasaan secara tegas, atau sistem presidensial. Kekuasaan eksekutif itu dipegang oleh suatu badan atau organ yang di dalam menjalankan tugas eksekutif itu tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat atau parlemen.

2.             Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif, dengan sistem pemisahan kekuasaan, tetapi di antara badan – badan yang diserahi kekuasaan itu, terutama antara badan legislatif dengan badan eksekutif, ada hubungan yang bersifat timbal balik, dapat saling memengaruhi, atau sistem parlementer.

3.             Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif, dengan sistem pemisahan kekuasaan, dan dengan kontrol secara langsung dari rakyat yang disebut sistem referendum, atau sistem badan pekerja.

Persamaan dari ketiga tipe demokrasi modern tersebut di atas ialah bahwa pada ketiga tipe demokrasi modern tersebut kita dapatkan adanya badan perwakilan rakyat. Sedangkan perbedaannya terletak pada tempat serta fungsi badan perwakilan rakyat tersebut di dalam susunan negaranya.

Berdasarkan kepada setiap penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Negara Republik Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer.

b.        Tata Hukum Indonesia

Tata hukum sama dengan sistem hukum yaitu suatu cara atau sistem dan susunan yang membentuk keberlakuan suatu hukum di suatu wilayah tertentu dan pada waktu tertentu. Tata hukum suatu negara (ius constitutum = hukum positif) adalah tata hukum yang diterapkan atau disahkan oleh negara itu. Artinya apabila ketentuan – ketentuan hukum itu dilanggar  maka bagi si pelanggar akan dikenakan sangsi yang datangnya dari badan atau lembaga berwenang. Dengan kata lain, tata hukum Indonesia itu menata, menyusun, mengatur tertib kehidupan masyarakat Indonesia, yang diterapkan oleh masyarakat hukum Indonesia (NKRI).

Di dalam Undang – Undang Dasar Negara No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – perundangan, dalam Pasal 7 diatur tentang Jenis, Hierarki dan Materi Muatan Peraturan Perundang – undangan sebagai berikut :

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang – Undangan terdiri atas:

a.              Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b.             Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c.              Undang – Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang

d.             Peraturan Pemerintah

e.              Peraturan Presiden

f.              Peraturan Daerah Provinsi

g.             Peraturan Daerah Kabupaten / Kota

c.         Tugas dan Wewenang Pemerintahan Pusat dan Daerah

Kewenangan-kewenangan Pemerintah pusat ada enam, yaitu :

·                Politik luar negeri

·                Pertanahan

·                Yustisi

·                Moneter

·                Fiscal nasional

·                Agama

·                Agama

Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di luar urusan pemerintahan, pemerintah dapat melakukan :

·                Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan

·                Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah

·                Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan

1)   Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintah

2)   Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait

3)   Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, yang diselenggarakan berdasarkan criteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan

4)   Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi :

a.          Perencanaan dan pengendalian pembangunan

b.         Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang

c.          Penyelenggaraan ketertiban umum dan keteteraman masyarakat

d.         Penyediaan sarana dan prasarana umum

e.          Penanganan di bidang kesehatan

f.          Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial

g.         Penanggulangan masalah social lintas kabupaten/kota

h.         Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota

i.           Memfasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah

j.           Pengendalian lingkungan hidup

k.         Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota

l.           Pelayanan kependudukan dan catatan sipil

m.       Pelayanan administrasi umum pemerintahan

n.         Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota

o.         Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota

p.         Urusan wajib lainnya, yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan

 

B.     Otonomi Daerah Di Indonesia

Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:

1.         Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara (Eenheidstaat), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan

2.         Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan

Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan, yaitu :

1.         Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim

2.         Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif

3.         Dati II adalah daerah ujung tombak pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya

Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:

1.         Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;

2.         Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan

3.         Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju

 

·       Aturan Perundang-undangan

Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:

1.   Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah

2.   Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

3.   Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

4.   Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

5.   Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

6.   Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

7.   Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

·       Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru

Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat.

Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:

1.         Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya

2.         Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah

3.         Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.

Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Provinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggung-jawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.

Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran, mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota, meminta keterangan, mengadakan perubahan, mengajukan pernyataan pendapat, prakarsa, dan penyelidikan), dan kewajiban seperti :

a.             Mempertahankan, mengamankan, serta mengamalkan PANCASILA

b.             Menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku

c.             Bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah

d.            Memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.

Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.

·      Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru

Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan, yaitu :

1.             Melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah

2.             Pembentukan negara federal

3.             Membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.

Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :

1.             Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri

2.             Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah

3.             Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota

4.             Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

5.             Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah provinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya

6.             Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah provinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.

7.             Wilayah Provinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut provinsi

8.             Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden

9.             Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang

10.         Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang

11.         Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD

12.         Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah

13.         Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada provinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada provinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala provinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota

14.         Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus

15.         Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD

C.     SEJARAH KOTA BATAM

Kota Batam adalah kota yang strategis karena terletak di jalur pelayaran internasional. Luas dari daratan ini 1.5 kali dari luas Singapura yang menjadi tetangganya yakni 1.040 km persegi. Iklim yang ada di kota ini adalah iklim tropis dengan daratan yang berbukit serta memiliki banyak lembah. Tanah yang ada di Bata ini bisa dikatakan kurang subur karena berjenis tanah merah. Meski dikaruniai tanah yang kurang subur, tapi ada aspek lain yang membuat Batam tampak menggoda bagi orang lain untuk mengunjunginya.

Letak kota Batam sangat strategis. Kota ini bersebelahan dengan Selat Singapura dan Malaysia di bagian utara, berbatasan dengan Kabupaten Lingga di sebelah selatan, dengan Kabupaten Karimun di barat serta arah timur dengan Pulau Bintan dan Tanjung Pinang. Hal ini menjadikan Kota Batam sebagai jalur yang harus dilewati oleh banyak pedagang mulai dari skala kecil sampai pedagang raksasa. Hal ini karena sebagai jalur pelayaran internasional menyebabkan kota ini mampu menjadi daya tarik  bagi orang luar untuk mendapatkan keuntungan di sana.

Hal ini dapat dipahami karena dengan besarnya arus perdagangan maka akan menimbulkan multiplier effect bagi bidang usaha lainnya seperti semakin pesatnya kawasan hiburan, semakin maraknya pusat perbelanjaan dan sebagainya. Multiplier effect ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi kota Batam langsung menanjak.

Dengan tujuan mula menjadikan Pulau Batam sebagai Singapuranya Indonesia, mendorong pemerintah Indonesia membuat keputusan untuk menjadikan Pulau Batam sebagai daerah industri. Untuk mewujudkannya, rencana ini didukung sepenuhnya oleh Badan Otorita Batam (BOB)  atau yang lebih dikenal sebagai Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. Selanjutnya berubah nama menjadi Badan Pengusahaan Batam (BP Batam).

Program ini terjadi pada tahun 70-an tepatnya dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973. Hal ini karena Kota Batam merupakan kota yang menempati posisi strategis. Berada di ujung pulau Indonesia serta berdekatan dengan Malaysia dan negara maju Singapura membuatnya menjadi salah satu kawasan yang terhubung dalam jalur pelayaran internasional. Dalam catatan sejarah, pengembangan pulau Batam melewati 3 periode, yaitu sebagai berikut.

1.    Periode Masa Lampau

Sejarah Pulau Batam bisa ditelusuri sewaktu pertama kalinya Bangsa Mongolia dan Indo Aryan pindah menetap di kerajaan Melayu, yaitu sekitar tahun 1000 M sebelum kerajaan Islam Malaka dan Bintan berdiri. Waktu itu kolonial Belanda, Inggris, dan Portugis belum menginjakkan kaki di Pulau Batam.

Pada 1513 M, Pulau Batam telah menjadi bagian dari kerajaan Johor. Penduduk Pulau Batam diisi oleh orang – orang Melayu yang dijuluki sebagai orang Selat atau orang Laut. Dalam versi lain, sejarah tentang Pulau Batam ini diceritakan telah dihuni oleh orang Selat pada abad 14 atau berkisar pada tahun 1300 M. Orang – orang Selat ini menghuni pulau ini sejak kerajaan Tumasik masih berdiri. Kerajaan Tumasik sekarang bernama Singapura, sebuah negara kecil tapi sangat maju yang ada di Asia.

Pada saat itu, kekuasaan berpusat di Bentang yang hari ini dikenal sebagai Pulau Bintan serta dipimpin oleh Lakamana Hang Nadim. Pada saat itu, Laksamana Hang Nadim aktif mengusir penjajah. Setelah kepemimpinan Laksamana Hang Nadim estafet selanjutnya dipegang oleh Sultan Johor hingga sampai pertengahan abad 18. Pada masa itu, Kerajaan Malaka sedang dalam masa jaya – jayanya.

2.    Periode Pendudukan kolonial

Keberadaan Selat Malaka pada abad ke 18 ternyata begitu menggoda kaum penjajah untuk menguasainya. Keberadaan selat ini sendiri memunculkan rivalitas di antara Inggris dan Belanda untuk dapat menguasainya.

Pada saat itu , Bandara Singapura berkembang sangat pesat sehingga Belanda melakukan berbagai strategi agar keinginannya untuk menguasai perdagangan Melayu bisa berhasil. Hal ini menyebabkan banyak para saudagar – saudagar datang dengan sembunyi – sembunyi ke Singapura. Sedangkan Pulau Batam yang berbatasan dengan Singapura menjadi tempat bersembunyi bagi para pedagang dari gangguan patroli tentara Belanda.

Pada abad ke 18, Lord Minto dan Raffles dan kerajaan Inggris melakukan transaksi barter dengan pemerintah kolonial Hindia belanda yang berakibat kepada penyerahan Pulau Batam yang disebut kembarannya Singapura jatuh ke tangan Belanda.

Orang yang menjadi penguasa Batam untuk pertama kalinya adalah Nong Isa atau Raja Isa bin Raja Ali. Beliau diperintah oleh Sultan Riau dan Yang Dipertuan Muda Riau untuk memerintah kawasan Nongsa dan daerah sekitarnya. Kawasan Nongsa dan daerah sekitarnya inilah yang sekarang kita kenal dengan nama Pulau Batam. Surat perintah dari Sultan Riau dan Yang Dipertuan Muda Riau tertanggal 22 Jumadil Akhir 1245 atau bertepatan dengan kalender Masehi, yakni tanggal 18 Desember 1829.

Tanggal ini yang kemudian dijadikan sebagai tanggal Hari Jadi Kota Batam. Dahulu Kota Batam bernama Pulau Batang. Sejarah tentang asal usul nama ini tertulis pada sebuah peta yang digunakan VOC pada tahun 1675. Peta ini tersimpan rapi di Universitas Leiden Belanda.

3.    Periode Globalisasi

Pada tahun 1960-an, Batam ditunjuk dan ditetapkan menjadi basis logistik untuk minyak bumi yang bersumber di Pulau Sambu, kota yang berumur sangat tua. Jauh lebih tua 1 abad dari Kota Batam yang sekarang dijadikan tempat tujuan berinvestasi, melakukan kegiatan ekonomi, perdagangan, alih kapal serta jasa

D.     Landasan Hukum PB Batam dan Pemko Batam

Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kemajuan yang siginifikan ketika kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang investasi dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) setelah pemerintah menerbitkan peraturan yang membebaskan pajak perseroan untuk masa dua tahun (Undang-undang No 11 Tahun 1970).

Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967, Undang-undang No 11 tahun 1970 dan Undang-undang No 6 Tahun 1968 Undang-undang No 12 Tahun 1970 memberi kemudahan bagi pelaksanaan penanaman modal (investasi). Sejak berlakunya Undang-undang PMA tahun 1967, aliran modal asing setiap tahun menunjukkan perkembangan dan peningkatan, baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif, karena letak wilayahnya yang strategis dan berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura membuat Batam menjadi tempat yang efisien untuk penanaman investasi. Hal ini ditunjang dengan peraturan tentang pengelolaan Pulau Batam, yang pada awalnya didasarkan atas Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang “Pengembangan Pembangunan Pulau Batam” yang meliputi wilayah Batu Ampar saja, diarahkan untuk membangun Pulau Batam sebagai Kawasan Berikat (Bonded Warehouse). Peraturan perundangan terakhir yaitu Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun1992 memperluas wilayahnya meliputi Pulau batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang serta beberapa pulau kecil yang berada di sekitar pulau Rempang-Galang.

Berdasarkan latarbelakang itulah pembangunan kawasan industri Pulau Batam yang dimulai sejak 1970-an identik dengan lembaga Otorita Batam yang mengelola kawasan industri. Kehadiran Otorita Batam untuk memperkuat kedudukan Pemerintah Pusat yang sejak awal dirancang menyaingi Singapura. Untuk mempermudah mendapatkannya, maka dasar hukum pendirian Otorita Batam tidak perlu disetujui lembaga legislatif (DPR RI),  tetapi langsung berdasarkan Keputusan Presiden (KEPPRES). Sehingga berdasarkan Keputusan Presiden itulah silih berganti diterbitkannya pelbagai kebijakan mulai dari Keputusan Presiden No.65 Tahun 1970 sehingga No.28 Tahun 1992 yang berjumlah 11 (diterbitkan era Orde Baru), kemudian 3 Keputusan Presiden diterbitkan pada era Reformasi Konstitusi.

Selain pelbagai Keputusan Presiden tentang Otorita Batam dan Kawasan Industri, pada era Reformasi secara bersamaan terbit Undang-Undang No.53 Tahun 1999 (diubah  dengan UU No.13 Tahun 2000) tentang “Pendirian Kota Batam yang otonom”. Dengan kebijakan ini Pulau Batam yang semula hanya sebagai Kota Administratif (tanpa legislatif daerah), statusnya berubah menjadi daerah otonom kota yang mempunyai kewenangan dan anggota legislatif daerah. Kebijakan ini menyebabkan ‘dualisme’ kekuasaan antara Otorita Batam (Pemerintah Pusat) dan Pemerintah Kota Batam tentang lembaga mana yang berhak mengelola Pulau Batam.

Dalam memahami hubungan pembangunan kawasan industri antara Pulau Batam dan Pulau Pinang terdapat dua perbedaan. Pertama, kawasan industri dan institusi yang mengelola  di Pulau Batam tidak didukung berdasarkan undang-undang dan kepastian hukum, kecuali Keputusan Presiden pada era Orde Baru dan Reformasi (sebelum tahun 2007). Sementara di Pulau Pinang kawasan industri dan pengelolanya berdasarkan undang-undang. Kedua, dalam pengelolaan kawasan industri di Pulau Pinang, tidak terjadi dualisme kekuasaan, sementara di Pulau Batam terjadi dualisme kekuasaan antara ‘Otorita Batam’ (Pemerintah Pusat) dengan Pemerintah Kota Batam. Hal ini sejalan dengan perkembangan pembangunan Kota Batam, serta pertumbuhan penduduk yang secara perlahan meningkat.

Atas pertimbangan ini, Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1983 mengenai “Pembentukan Kota Administratif Batam” di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Riau sebagai perangkat dekonsentrasi. Sejak saat itulah pengelolaan kawasan Batam melibatkan dua lembaga, yaitu Badan Otorita Batam dan Pemerintah Kota Administratif.  Perubahan besar terjadi setelah dikeluarkan dan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Daerah, yang menjadikan Batam sebagai daerah Pemerintahan Kota Otonom yang sama kedudukannya dengan kabupaten dan kota-kota lainnya di Indonesia. Kedua peraturan ini selanjutnya dirubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemeritahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

E.   Permasalahan

Tantangan utama yang harus dihadapi oleh Kota Batam saat ini adalah bagaimana mengharmoniskan pembagian wewenang dua pemerintahan sehingga pengelolaan kotanya dapat berkembang dengan optimal. Perlu dicari terobosan taktis dan strategis agar hubungan keduanya menjadi sinergi dan bukannya kontroversi.

Dengan adanya sinergi maka tujuan awal pembangunan kota Batam yang secara terencana memang dimaksudkan untuk memberikan kontribusi dalam kemajuan ekonomi Nasional, pada era otonomi daerah ini tetap dapat dilaksanakan. Bahkan dengan adanya masalah ini maka investor yang telah menanamkan investasinya di Batam juga hengkang dan mencari Negara lain yang kondusif dan memiliki kepastian hukum yang jelas.

Ketua Umum Kadin Indonesia MS Hidayat menyatakan enam investor asing siap meninggalkan Batam untuk berpindah ke Malaysia dan Vietnam, menyusul ketidakjelasan peraturan dan status Batam sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Para investor yang berasal dari Singapura dan bergerak di bidang elektronik tersebut menilai peraturan di Batam semakin tidak jelas, serta biaya produksi semakin tinggi. Para investor tersebut juga mempertanyakan masih adanya dualisme perizinan dan kewenangan antara Otorita Batam dan Kotamadya Batam, sehingga membingungkan mereka.

Sementara, Ketua Kadinda Batam Nada F Soraya menyatakan sudah ada 8 perusahaan yang membatalkan realisasi investasi mereka di Batam. Sedangkan 10 perusahaan memindahkan pabrik mereka ke luar Batam dan delapan perusahaan lagi sudah tidak aktif lagi.

Penurunan aktivitas industri tersebut cukup mengkhawatirkan karena berimbas juga pada kelompok usaha lain di Batam, terutama usaha kecil menengah. Sebagai ilustrasi data Aspekalima Batam (Asosiasi Pedagang Kaki lima Batam) tahun 2005 mencatat sekitar 2000 pedagang kaki lima, padahal pada tahun sebelumnya mencapai 3.500 pedagang kaki lima.
Permasalahan-permasalahan ini timbul karena belum adanya kepastian hukum menyangkut investasi di Batam.

Berdasarkan uraian-uraian di atas yang menjelaskan adanya tumpang tindih dalam pelaksanaan beberapa kewenangan yang berakibat menimbulkan banyak sekali permasalahan dalam pengembangan kota, maka kami menyimpulkan bahwa dualisme pemerintahan di Kota Batam menimbulkan konflik vertical dan horizontal, seperti :

a.             Konflik dalam Perencanaan dan pengendalian pembangunan yang dikarenakan Izin Prinsip atau Fatwa Planologi atau penggunaan lahan diterbitkan oleh Otorita, sedangkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diterbitkan oleh Pemko Batam. Dengan kondisi ini, maka peran Pemko Batam sebagai pemegang otoritas menyeluruh dalam pengendalian pembangunan tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya karena Pemko hanya bisa mengendalikan tertib bangunannya saja

b.            Konflik dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. Sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang “Penataan Ruang”, maka Pemerintah Kota memiliki kewajiban untuk menyusun Rencana Penataan Ruang di wilayahnya masing-masing. Pemko Batam telah melaksanakan kewajibannya dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) namun sekali lagi Pemko tidak memiliki kewenangan dalam pengawasan tata ruang di wilayah Kota Batam karena hal ini terkait dengan kewenangan pemberian izin penggunaan lahan yang hingga saat ini masih dipegang oleh Otorita Batam. Apabila konflik kewenangan ini tidak segera diselesaikan maka akan membawa dampak yang amat serius bagi keseimbangan tata guna lahan kota Batam yang notabene sangat terbatas.

c.             Konflik dalam Penyediaan sarana dan prasarana umum. Perlu pembagian kewenangan yang tegas serta terperinci antara pihak Pemko dan Otorita di dalam penetapan jenis sarana dan prasarana umum yang menjadi kewajiban masing-masing. Hal ini untuk menjamin kepentingan masyarakat yang berhak atas fasilitas tersebut

d.            Konflik dalam Pengendalian lingkungan hidup dapat terjadi karena aturan yang memuat kewajiban investor untuk melaksanakan analisi dampak lingkungan akibat pembangunan yang direncanakannya melekat pada perizinan prinsip/fatwa planologi yang diterbitkan oleh pihak Otorita. Dengan demikian Pemko tidak memiliki otoritas untuk mengendalikan lingkungan. Saat ini telah terjadi banyak sekali kegiatan pemotongan bukit-bukit dan reklamasi pantai yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan.

e.             Konflik dalam Pelayanan pertanahan. Salah satu masalah yang muncul akibat konflik ini adalah adanya dua jenis pajak tanah yang dibebankan kepada masyarakat, yaitu berupa pembayaran Pajak Bumu dan Banguna (PBB) dan Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO).

f.             Konflik dalam Pelayanan administrasi penanaman modal. Pelayanan administrasi penanaman modal adalah segala perizinan dan retribusi yang menyangkut investasi, baik untuk industri maupun bidang lain. Hingga saat ini otoritas kewenangan ini ada di pihak Otorita, yang merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat. Dengan demikian dampak ekonomi atas banyaknya investasi yang ada di Kota Batam tidak dapat dinikmati oleh masyarakat setempat, karena pendapatan atas pajak investasi tersebut hanya sedikit sekali yang menjadi hak dari Pemko.

 

F.    DAMBAAN KEPASTIAN HUKUM DI KOTA BATAM

IDEALNYA penetapan suatu kawasan dalam bentuk apapun seyogyanya akan dirancang sedemikian rupa dari segala sesuatu yang diperlukan dengan mencurahkan segala upaya dalam penataan terutama dalam pelaksanaan studi kelayakan, apabila hasil pengkajian tidak menguntungkan jelaslah persoalan ini akan sirna dengan sendirinya. Namun sebaliknya hasil pengkajian dinyatakan lulus berarti segala sesuatu yang telah diputuskan tentu telah jelas apa-apa saja yang harus dilakukan baik sarana dan prasarana dan segala sesuatu yang tertuang dalam rekomendasi dinyatakannya lulus kelayakannya.

Berdasarkan atas pemikiran ini, masing-masing negara yang akan menyusun strategi yang berkesinambung dalam membangun atas basis fundamental ekonominya. Demikian juga bagi negara kita, kepala negara sebagai pengemban amanat rakyat telah  mengeluarkan kebijakan Pembangunan Nasional berbasis penguatan fundamental ekonomi nasional berupa Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 menetapkan Daerah Industri Pulau Batam seluruh wilayah Pulau Batam merupakan lingkungan kerja Daerah Industri Pulau Batam.

Atas kebijakan ekonomi ini maka lahirlah ”Otorita Batam” (sekarang Badan Pengusahaan Kawasan) diberi mandat penuh untuk mengembangkan kawasan perdagangan bebas ini yang waktu itu di dambakan sebagai lokomotif pertumbuhan industri nasional untuk membangkitkan semangat bagi daerah-daerah agar menuju era industrialisasi. Namun sangat disayangi harapan yang sedemikian muktahil tinggal kenangan berlalu.
Sayang harapan yang indah ini tinggallah khayalan belaka, tentu saja kita ingin tahu sebab-musabab persoalan ini karena di beberapa belahan dunia yang juga aktif dalam merancangkan kawasan serupa seperti Batam namun kini mereka telah mencapai kemajuan ekonomi yang gilang gemilang telah turut memberikan kontribusi real atas perekonomian bagi negaranya.

Untuk adanya daya tarik bagi para investor dengan tersedianya infrastruktur yang realitas, energi tercukupi, transportasi yang baik, stabilitas perekonomian, keamanan nasional kondusif dan yang terpenting adanya jaminan perlindungan hukum bagi para investor baik keamanan, ketertiban dan kepastian hukum. Filosofi hukum dikatakan hukum itu buta sehingga dalam penegahkan hukum tidak pandang buluh, oleh karenanya ciptakanlah hukum yang baik agar orang-orang taat dan apabila hukum tidak konsisten (tidak baik) orang-orang cenderung tidak patuh dan mengabaikan akibatnya kerancuan hukum merajarela di seputar kita.

Persoalan terakhir inilah yang akan diulas dalam goresan ini, karena persoalan kepastian hukum justru  menjadi ganjaran sistem hukum di negara kita. Caruk maruk sistem hukum di negara kita telah mewarnai gemerlap wajah hukum tersendiri hingga menjadi sorotan sinis atas ketidakpastian hukum yang dirasakan oleh kita semua.

Dampak ketidakpastian hukum antara lain: pertama, Ketidakpercayaan para investor terhadap otoritas penyelenggara kawasan industri. kedua, Perekonomian cenderung merosot karena para pelaku usaha tidak simpati bahkan mencari daerah/tujuan relokasi, ketiga, Penyalahgunaan kewenangan yang berujung pada Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Praktek penyelanggaraan di kawasan idaman ini terdapat  sejumlah regulasi yang membuat masyarakat dan pelaku usaha di Batam tidak nyaman:

1.      Adanya sejumlah regulasi yang membuat masyarakat dan pengusaha di Batam terasa tinggal di daerah Free Trade Zone (FTZ). Keleluasan satu per satu terkikis atas kelebihan-kelebihan yang dimiliki sebelumnya kini seolah tidak merasakan keistimewaan yang tinggal di kawasan dikatakan serba menguntungkan / murah

a.       Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2003 terhadap kendaraan bermotor, rokok, hasil dari tembakau dan minuman beralkohol dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (Ppn).

b.      PP No. 30 Tahun 2005 selain keempat item tersebut diatas “Elektronik juga dikenakan Ppn”

c.       Kedua Kebijakan dilestarikan melalui PP No. 2 Tahun 2009, kemudian lahir PP No. 10 Tahun 2012 yang intinya semua barang masuk ke kawasan bebas pabean tidak dikenakan PPn sejauh tidak keluar daerah pabean

d.      Penerapan Nomor Induk Kepabeanan (NIK)

e.       Importir baja harus mengantongi izin importer terdaftar (IT)

2.      Terjadinya stagnasi pernerbitan sertipikat di tahun 2006 atas bagian-bagian lahan yang dialokasi oleh BP Kawasan kepada developer dan dijual kepada masyarakat disinyalir terdapat kehilangan penerimaan negara oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) atas Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB). Akhirnya penyelesaian penerbitan sertipikat ke atas nama perusahaan pengembang terlebih dahulu kemudian dilanjuti balik nama ke atas nama pemilik terakhir.

3.      Adanya kebijakan terhadap bahan kebutuhan sehari-hari berdasar di impor diwajibkan atas makanan luar dengan mencantumkan (ML)

4.      Demikian juga kewajiban penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI)
Secara politik ketatanegaraan seluruh Pulau Batam dan pulau-pulau sekitarnya telah diberikan Hak Pengelolaan, namun untuk penerapannya diwajibkan pendaftaran bidang-bidang tanah untuk memperoleh Hak Pengelolaan setelah membayar uang pemasukan negara. Persoalan ini juga menambah deretan persoalan di pulau yang bentuknya seperti kalajengking ini. Isu hutan lindung sejak tahun 2009 atas dasar sejumlah Keputusan Menteri Kehutanan bahwa sejumlah bangungan terindikasi hutan wisata maupun hutan lindung. Hingga kini persoalan juga tidak jelas malahan lahir lagi Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 463/MENHUT-II/2013 tentang perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas ± 124.775 Ha, perubahan fungsi kawasan hutan seluas ± 86.663 Ha dan perubahan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas ± 1.834 Ha di Provinsi Kepulauan Riau.

Kehadiran Keputusan Menhut ini telah tergores dalam sejarah Batam kegelisahan masyarakat batam antara lain:

a.         Menghambat investasi akibat ketidakpastian hukum

b.         Iklim investasi di Batam tidak kondusif yang ada kegelisahan/kerisauan

c.         Perlambatan pertumbuhan ekonomi

d.        Atas keputusan aneh ini dapat menghancurkan investasi di Batam, karena area dijadikan pusat perekonomian 30 tahun yang lalu telah berdiri permanen menjadi areal komersil, kini dijadikan “hutan beton”. Prestasi yang tidak terpuji merupakan teroban baru lahirnya istilah hutan beton di jagad raya ini.

e.         Semua pihak dirugikan karena sangat ketergantungan daripada status lahan

f.          Terdapat sejumlah wilayah area investasi masuk kawasan hutan

g.         Situasi saat ini sungguh ironis dan tidak adanya kepastian hokum bagi investor yang mendapatkan pengalokasian lahan dari Otorita Batam secara legal maupun secara yuridis, malah para investor digiling melintasi area hutan lindung

h.         Pelabuhan bebas dan perdagangan bebas soyogyanya mengayomi para investor malahan yang ada hanyalah ketidakpastian hokum bagi semua pihak

i.           Sejarah mencatat pembangunan batam mengalami kemunduran

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 94 Tahun 1998 tentang perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang daerah industri Pulau Batam sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1989 dalam pasal 3 bahwa Menhut termasuk salah satu anggota pembina Daerah Industri Pulau Batam dalam melaksanakan tugas selaku pembina bertanggungjawab kepada Presiden.

Adapun Tugas” dari Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam antara lain:

1.      Mengembangkan dan mengendalikan pembangunan Pulau Batam sebagai suatu Daerah Industri

2.      Merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi-instalasi dan fasilitasnya

3.      Mengembangkan dan mengendalikan kegiatan pengalihan kapalan (transshipment) di Pulau Batam

4.      Menampung dan meneliti permohonan izin usaha yang diajukan oleh para pengusaha, serta mengajukannya kepada instansi-instansi yang bersangkutan

5.      Menjamin agar tata cara perijinan dan pemberian jasa-jasa yang diperlukan dalam mendirikan dan menjalankan usaha di Pulau Batam dapat berjalan lancer dan tertib, segala sesuatunya untuk dapat menumbuhkan minat para pengusaha untuk menanamkan modalnya di Pulau Batam

Di samping tugas Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam secara yuridis Otorita Batam diberi “kewenangan” untuk:

a.               Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah

b.               Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya

c.               Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal 41 s/d 43 UUPA (Undang-undang Pokok Agraria)

d.              Menerima uang pemasukan/ganti rugi uang wajib tahunan

Dari sini jelas bahwa Menhut secara organisatoris selaku pembina Otorita Batam berkewajiban turut mengendalikan jaminan atas kelancaran dan ketertiban para investor di Pulau Batam, apabila Menhut Lalmeaban selaku Pembantu Presiden semestinya kebijakannya sinergi dengan tujuan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam apalagi Otorita Batam dalam menjalankan tugasnya langsung bertanggungjawab kepada Presiden.

Pada tahun 1990-an Menhut telah mengeluarkan sejumlah keputusan berupa penetapan kawasan hutan baik hutan lindung maupun hutan wisata, dalam pertimbangan hukumnya sama sekali tidak mempertimbangkan dasar hukum pembentukan Pulau Batam sebagai Daerah Industri Pulau Batam yang lahir berdasarkan Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1973. Oleh karena hal semacam inilah benih ketidakpastian hukum yang akan terjadi menjadi beban dan keresahan semua pihak, semestinya kebijakan Menteri selalu mengedepankan dasar legalitas sebuah kebijakan, agar tidak terjadi persinggungan antar kebijakan satu sama lain.

Menhut mempunyai kewenangan dalam jabatannya secara umum, namun terhadap kawasan dengan kebijakan khusus lex specialis akan mengesampingkan kebijakan umum. Seyogyanya terhadap kebijakan di daerah FTZ terlebih dahulu berkoordinasi dengan badan pengusahaan kawasan agar putusannya berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada di daerah atas dasar Tata Ruang Dan Wilayah yang telah ditetapkan.

Untuk menunjukkan kemandirian hukum disegani dalam pergaulan internasional maka harus serius dalam penyiapan infrastruktur dan mempunyai program ahli teknologi untuk kelangsungan industrialisasi. Apabila industrialisasi hanya berbasis assembling (pemasang/ perakit) ataupun berupa jasa  penunjang terhadap suatu produk, perusahaan sejenis ini sangat rentan kelangsungannya. Industri idaman adalah industri berbasis dari hulu hingga hilir, hal semacam ini sangat dirasakan oleh stakeholder di Batam terhadap industrialisasi yang berskala besar/ multi nasional dirasakan tidak punya daya tarik karena tidak tersedianya industri-industri penunjang yang memperlancar/ mensupply kebutuhan industri besar.

Persoalan semaccam ini tidak mudah untuk mengatasinya melainkan politik ini di suatu rancangan besar penataan industrialisasi berkesinambungan, Kini persoalan yang mendesak untuk segera diluruskan adalah Keputusan Menhut Nomor 463 ini, diharapkan adanya upaya-upaya yang harus dilakukan, antara lain:

1.               Diharapkan Menhut atas prakarsa sendiri merevisi keputusan tersebut demi kenyamanan semua pihak, terutama pengusaha dan masyarakat Batam, tentu saja perubahan tersebut tidak membuat keputusan yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku di negeri ini.

2.               Pengaduan kepada kepala negara agar di dalam sidang kabinet bidang ekonomi pembangunan segera memutuskan kebijakan Menhut ini diharapkan segera ditindaklanjuti dalam kurun waktu tertentu bila tidak terakomodir terpaksa melalui upaya verbal. Persoalan ini semestinya dapat segera mendapat respon seketika oleh Presiden, karena sebagai atasan dapat segera mendapatkan kejelasan kenapa hal demikian bisa terjadi.

Sejauh putusan bawahannya sudah betul dan konstitusional maka kukuhkanlah putusan yang sudah ada dan menyampaikan kepada masyarakat di kota Batam. ketiga; Keputusan Menhut merupakan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara maka atas keputusan Pejabat Tata Usaha Negara ini dapat dianulir untuk mengujinya secara yuridis, hal ini merupakan salah satu pilihan upaya hukum dengan konsekuensi  terjelek waktu penyelesaian tarik panjang (proses persidangan) dan akibatnya tentu masyarakat Batam yang dirugikan karena semua pihak wait and see.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.   KESIMPULAN

Reformasi di segala bidang yang di dukung oleh masyarakat dalam mensikapi permasalahan yang terjadi, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah menyebabkan lahirnya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan reformasi Indonesia memasuki Era Otonomi daerah dengan diterapkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 (yang kemudian diganti menjadi UU No. 32 Tahun 2004) tentang “Pemerintahan Daerah) dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 (yang kemudian diganti menjadi UU No. 33 Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Dalam UU No.32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Selain itu juga dilaksanakan pula dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.

Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannnya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai bagian utama dari tujuan nasional.

Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itu, otonomi daerah diharapkan dapat

1.            Menciptakan efisinesi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah

2.            Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat

3.            Membudayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisifasi dalam proses pembangunan.

Dalam otonomi daerah, pimpinan daerah memegang peran sangat srategis dalam mengelola dan memajukan daerah yang dipimpinnya. Perencanaan strategis sangat vital, karena disanalah akan terlihat dengan jelas peran kepala daerah dalam mengoordinasikan semua unit kerjanya. Betapapun besarnya potensi suatu daerah, tidak akan optimal pemanfaatannya bila walikota tidak mengetahui bagaimana mengelolanya. Sebaliknya, meskipun potensi suatu daerah kurang, tetapi dengan strategis yang tepat untuk memanfaatkan bantuan dari pusat dalam memberdayakan daerahnya, maka akan semakin meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang ada. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 156 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004, kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Untuk itulah, perlu kecakapan yang tinggi bagi pimpinan daerah agar pengelolaan dan terutama alokasi dari keuangan daerah dilakukan secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan-tujuan pembangunan daerah

Otonomi daerah harus diikuti dengan serangkaian reformasi sektor publik. Dimensi reformasi sektor publik tersebut tidak sekadar perubahan format lembaga, akan tetapi menyangkut pembaruan alat-alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembaga-lembaga publik tersebut secara ekonomis, efisien, efektif transparan, dan akuntabel sesuai dengan cita-cita reformasi yaitu menciptakan good governace benar-benar tercapai.

Pengelolaan keuangan daerah harus Transparansi yang mulai dari proses perencanaan, penyusunan, pelaksanaan anggaran daerah. Selain itu, Akuntabilitas dalam pertanggungjawaban publik juga diperlukan, dalam arti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Kemudian, Value for money yang berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses pelanggaran yaitu ekonomi, efisiensi dan efektifitas

Dengan adanya penerapan prinsip-prinsip tersebut, maka akan menghasilkan pengelolaan keuangan daerah (yang tertuang dalam APBD) yang benar-benar mencerminkan kepentingan dan pengharapan masyarakat daerah setempat secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Sehingga nantinya akan melahirkan kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.

 

B.   Upaya Mensinergikan Peranan BP Batam dengan Pemerintah Kota Batam

Dengan mempelajari beberapa permasalahan yang timbul akibat adanya dualisme pemerintahan di Kota Batam, maka Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Dalam Negeri perlu segera membuat rencana untuk mensinergikan peranan Otorita Batam dengan Pemko Batam. Masing-masing pihak perlu menyamakan misi bahwa peranan utama lembaga pemerintahan adalah untuk melayani kepentingan masyarakatnya. Dengan demikian, apapun peranan yang menjadi wewenang masing-masing pihak harus berorientasi untuk mempermudah dan memperlancar kepentingan publik.

Sebagai lembaga yang berpengalaman selama ± 35 tahun dalam mengelola kota, Otorita Batam seharusnya mempertimbangkan fakta atas kewenangan otonomi yang dimiliki oleh Pemko Batam, sehingga dengan kesadaran penuh Otorita hanya mengambil peran yang benar-benar spesifik yang belum mampu ditangani oleh Pemko Batam.

Dan untuk mewujudkan kepastian hukum di Kota Batam, kami menyarankan kepada BP Batam untuk sadar diri dan sadar posisi, dan kami memberikan 2 opsi kepada BP Batam, yaitu :

1.      Melompat dengan indah, atau

2.      Dilompatkan dengan indah


 

DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Zainal Asikin, S.H.,S.U. Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2012

Suhendro, SH., Mhum, Hukum Investasi di Daerah Otonomi, Yogyakarta, Gita Nagari, 2005.

Astari Yanuarti, Pasar (Setengah) Bebas Batam, Jakarta, Gatra, 2007

http://www.kimpraswil.go.id/, Batam Sejak1968 Hingga Era Otonomi Derah, Sebuah Pengantar untuk Melihat Tantangan yang Dihadapi

http://www.kapanlagi.com/, Enam Investor Siap Hengkang dari Batam, Minggu, 18 Februari 2007

http://www.dpr.go.id/artikel/terkini/, Komisi VI DPR Desak Menteri Perdagangan Susun Policies Design Pengembangan Batam, 27 Februari 2006.